Paradoks Penobatan Banda Aceh Ibukota Kebudayaan Indonesia

Seorang kolektor manuskrip kuno Aceh, Tarmizi Abdul Hamid mengatakan, penetapan Banda Aceh menjadi Ibukota Kebudayaan Indonesia paradoks dengan realita saat ini. Faktanya pemerintah Kota Banda Aceh belum serius mengurusi benda pusaka peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam.
Menurut Cek Midi, sapaan akrapnya, realita sekarang sejumlah benda pusaka yang ada di Banda Aceh banyak terlantar dan tidak pernah ditata dengan baik.
Kendati demikian, Cek Midi menyebutkan penobatan sebagai Ibukota Kebudayaan Indonesia sah-sah saja. Tetapi bertolak belakang dengan kondisi saat ini. Sejumlah peninggalan masa lalu yang bernilai tinggi tidak terawat dengan baik.
"Penobatan itu hak semua orang, itu sah-sah saja. Tetapi, itu sangat bertolak belakang dengan kondisi hari ini dan terkesan itu pembohongan informasi publik," kata Cek Midi saat ditemui readers.ID, Selasa (30/3/2021) di kediamannya, di Gampong Ie Masen Kaye Adang, kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh.
Cek Midi menyebutkan, polemik pembangunan Instalasi Pembuangan Akhir Limbah (IPAL) di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja hingga sekarang belum terselesaikan. Padahal penduduk di sana secara tegas menolak pembangunan tersebut.
"Ini bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Sementara ini Banda Aceh dalam suasana dan kesan tak baik antara pemerintah dan masyarakat terkait pembangun IPAL di Gampong Pande," ujarnya.
Di Gampong Pande sendiri, sebut Cek Midi, merupakan wilayah pusaka. Artinya ada produk-produk kebudayaan yang diwariskan oleh para raja Aceh Darussalam zaman dahulu kepada generasi hari ini.
Cek Midi menuturkan, sejauh ini belum ada bentuk nyata kepudulian pemerintah kota Banda Aceh terhadap pemeliharaan warisan budaya. Buktinya, kota Banda Aceh tidak memiliki Qanun Cagar Budaya.
"Ini terkesan memanfaatkan kesenjangan isu demi pencitraan. Ini tidak sesusai kenyataan. Rakyat mengatahui persoalan yang sedang terjadi," papar Cek Midi.
Cek Midi meminta Pemerintah Kota Banda Aceh agar tidak memutarbalikkan fakta, supaya tidak membingungkan masyarakat.
"Jika kita berbicara secara intelektual, dan dewasa itu belum bisa kita sebutkan sebagai ibukota kebudayaan Indonesia. Ini membingungkan masyarakat," terang Cek Midi.
Cek Midi seorang kolektor manuskrip kuno dan budayawan di Aceh
Cek Midi menilai, penobatan kota Banda Aceh sebagai Ibukota Kebudayaan Indonesia tak terlepas dari kepentingan para pihak. Namun, penobatan itu sah-sah saja dilakukan oleh Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI).
Menurut Cek Midi, pihak JKPI sendiri tidak tahu persis apa yang sedang terjadi dasawarsa ini di kota Banda Aceh terkait polemik yang dipicu oleh warisa budaya.
Cek Midi menyebutkan, banyak permasalahan-permasalahan dan kontradiksi di lapanagan yang tidak diketahui oleh JKPI.
"Mereka hanya tahu Masjid Raya Baiturrahman, Masjid Ulee Lheu dan Kapal Apung. Pihak JKPI tidak tahu polemik internal antara masyarakat dan pemerintah kota Banda Aceh saat ini," kata Cek Midi.
Cek Midi meminta kepada Pemerintah kota Banda Aceh untuk tidak membingungkan masyarakat dengan isu-isu seperti itu. Ini semacam menebeng isu yang pada dasarnya tidak sesuai dengan realita sehingga menjadi kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat.
"Saat ini isu terkait warisan budaya sangat rawan di Banda Aceh, apalagi menyangkut dengan batu Nisan," pungkasnya.[]
Komentar