Pasar Limeng Sunti, Butuh Proteksi Pemerintah

Waktu Baca 12 Menit

Pasar Limeng Sunti, Butuh Proteksi Pemerintah
Limeng Sunti, produksi skala UMKM milik Jumadin yang diproduksi di Garot, Kabupaten Pidie. Afifuddin Acal | readers,ID

Bungkusan plastik bening berlatar warna kuning dan hijau terdapat dua tangkai belimbing wuluh segar, di atasnya tertulis Limeng Sunti Higenis diletakkan di atas meja. Dalam bungkusan itu terdapat belimbing kering berwarna kecoklatan.

Itulah asam sunti – biasa disebut dalam bahasa Aceh Limeng Sunti dan rahasia kelezatan bumbu dapur khas dari Serambi Makah. Biasanya, asam sunti digunakan untuk memasak seperti asam keu'eueng (asam pedas), kari, ikan pepes, asam atau sambal dan sejumlah masakan lainnya.

“Ini produknya, saya kemas dalam plastik biar higenis,” kata Jumadin beberapa waktu lalu kepada readers.ID.

Jumadin adalah seorang pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang baru saja merintis usaha barunya itu sekitar dua minggu lalu. Usahanya terletak di Jalan Sigli - Jabal Ghafur, Kecamatan Garut, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.

Pasar Limeng Sunti, Butuh Proteksi Pemerintah

Bumbu ini rata-rata tersedia di dapur masyarakat Aceh. Terutama bagi warga yang tinggal di perkampungan – Limeng Sunti menjadi bumbu utama dan wajib tersedia. Sehingga muncul selentingan di tengah masyarakat, kalau sudah makan asam sunti telah menjadi orang Aceh.

Cita rasa Limeng Sunti ini, cukup dirindukan oleh banyak warga Aceh yang sedang merantau. Tak sedikit, warga Aceh yang hendak kembali mengadu nasib ke negeri orang sengaja membawa Limeng Sunti ke perantauan.

Asam sunti cukup mudah didapatkan di pasar tradisioal saat ini di seluruh Aceh, terutama di Kabupaten Pidie dan Aceh pesisir. Tetapi saat ini Lemeng Sunti belum dikemas dengan baik. Barang yang tersedia di pasar tradisional pun biasa diletakkan di sudut – yang nyaris tak terpantau.

Kendati akhir-akhir ini Limeng Sunti mulai dikenal publik. Ada sejumlah pusat perbelanjaan modern mulai memasarkan, namun masih sangat terbatas. Begitu juga harga masih murah, tidak sebanding dengan proses produksi.

Momentum pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mendorong pelaku UMKM agar produktif. Terlebih presiden Jokowi mengumumkan agar mencintai produk lokal dan membenci produk asing. Ini merupakan peluang yang diambil oleh Jumadin, memproduksi Limeng Sunti dengan sentuhan sedikit modern.

Baca Juga:

Yaitu mencoba memproduksi asam sunti dengan cara membuat kemasan yang lebih baik dan menarik. Sehingga tidak dipandang sebelah mata bumbu khas Aceh ini.

Mengingat bahan baku yang tersedia di Kabupaten Pidie cukup melimpah. Selama ini belimbing wuluh itu hanya terbuang begitu saja di bawah batang, karena tidak ada yang mengolahnya menjadi barang yang berharga.

Kalau pun ada yang membuat asam sunti, sebut Jumadin, hanya cukup untuk kebutuhan rumah tangga. Paling banyak diproduksi hanya dipasarkan di pasar lokal daerah sekitar tempat tinggalnya saja.

“Padahal ini potensi ekonomi dan pasarnya sebenarnya cukup banyak, tetapi sekarang belum dikemas dengan baik saja,” jelasnya.

Masih minimnya pelaku UMKM memproduksi massal asam sunti, sebutnya, karena harga jual acap kali tidak sesuai dengan proses produksi yang membutuhkan waktu dan tenaga ekstra.

Selain itu, pengemasannya juga masih belum menarik. Menurut Jumadin, bila asam sunti dikemas secara baik dan tentunya terjamin kebersihannya. Dia meyakini akan bisa menjadi produk unggulan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah.

Begitu juga bisa tembus untuk dipasarkan di mini market atau pusat perbelanjaan modern lainnya yang bertaburan di seluruh Aceh. Menurut Jumadin, bila ada pengemasan dengan baik, tentunya harga jual akan lebih menguntungkan petani Limeng Sunti.

Terlebih saat ini, wisatawan yang berkunjung ke Aceh sudah mulai mengenal asam sunti – sebagai bumbu khas Aceh. Tak sedikit, wisatawan maupun tamu yang berkunjung ke Aceh membawa pulang asam sunti itu sebagai buah tangan dari bumi Iskandar Muda.

“Ini potensi ekonomi dan peluang yang bagus. Tinggal kita kemas yang bagus,” ucapnya.

Pasar Limeng Sunti, Butuh Proteksi Pemerintah

Menurutnya, rahasia kelezatan bumbu masak khas Aceh ini sebenarnya pada cara pembuatannya yang dilakukan secara tradisonal. Tanpa tersentuh zat kimia maupun bahan yang berbahaya untuk kesehatan manusia.

Proses pembuatan Limeng Sunti, kata Jumadin, tidak bisa dibilang mudah dan juga bukan perkara yang sulit. Karena cukup belimbing itu dipetik, lalu dijemur di atas bleud (daun kelapa kering yang dianyam mirip tikar).

Menggunakan alas bleud bukan tidak memiliki alasan kuat. Kata Jumadin, belimbing itu kandungan airnya cukup banyak. Untuk membuat Limeng Sunti, maka harus terlebih dahulu dikeringkan dengan panas matahari lebih kurang selama tiga hari, namun tidak sampai gosong.

Menjemur belimbing di atas bleud untuk memudahkan terjadi endaman air yang terkandung dalam belimbing tersebut. Kalau dijemur di atas tikar, endapan air tidak sempurna dan juga dapat terkontaminasi dengan zat kimia yang terdapat di tikar tersebut.

“Sedangkan di atas bleud itu terhindari dari zat kimia, dia alami dan dijamin higenis. Setelah selesai dijemur, lalu disimpan dalam tempat khusus dengan ditaburi garam,” jelasnya.

Kata Jumadin, membuat bleud juga bukan perkara mudah. Anyaman daun kelapa itu membutuhkan ketelatenan dan butuh kreatifitas. Membuat satu bleud membutuhkan waktu sekitar 1 sampai 2 jam.

Meskipun bagi warga Aceh, terutama yang usia sudah lanjut mayoritas dapat membuatnya. Tetapi, Jumadin mengaku meragukan generasi milenial sekarang memiliki kemampuan membuat bleud.

Untuk mengantisipasi tidak adanya bleud kemudian hari dalam memproduksi Limeng Sunti. Jumadin mengaku mencoba eskperimen dengan menjemur di atas jaring. Jaring juga lebih mudah terjadi endapan kandungan air dalam belimbing.

“Sekarang dicoba dengan menggunakan jaring, menggantikan bleud, jaring juga pengeringan lebih mudah, karena keterbatasan bleud. Tetapi tradisi jaman dulu pakai bleud tetap kita pertahankan,” tuturnya.

Daur Ulang Sampah Menjadi Inspirasi

Daur ulang sampah yang sangat mudah ditemukan di YouTube menjadi inspirasi Jumadin memproduksi Limeng Sunti secara modern. Dalam pikirannya, sampah yang banyak orang beranggapan tidak bermanfaat, ternyata memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan.

Inspirasi itu pertama kali muncul saat dia sedang duduk bersama temannya di Mitra Kupi, Beuruenuen, Kabupaten Pidie. Saat ini, tanpa sengaja ia mengotak-atik telepon pintarnya dan melintas video daur ulang sampah.

Lalu ia terbayang di rumah ada pohon belimbing dan sering sekali orang tuanya membuat asam sunti, hanya untuk kebutuhan domestik saja. Lantas dia pun berpikir, mengapa tidak bahan baku yang sudah ada itu dikembangkan secara modern dengan sentuhan kemasan yang baik.

Ia pun langsung pulang ke rumah siang itu. Lalu mengambil asam sunti yang sudah kering itu lalu dia berpikir apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk mengemasnya dengan baik.

“Saat itu saya berpikir bagaimana cara agar bisa dikemas dengan baik, saya buatlah seperti ini,” jelasnya.
Langkah dia pun tidak berjalan mulus. Lalu dia berpikir setelah dikemas dengan baik, bagaimana dengan pemasarannya. Jumadin kemudian mengajak seorang rekannya untuk mencari pasar dan membentuk tim marketing.

Mereka kemudian membandrol Limeng Sunti produksinya dengan harga Rp 20 ribu per 500 gram atau setengah kilogram. Rencananya akan dipasarkan baik di pasar tradisional maupun di pasar modern.

Pasar Limeng Sunti, Butuh Proteksi Pemerintah

“Sekarang kita sedang menjajaki kerjasama dengan Asia Mart dan beberapa mini market lainnya, sudah ada respon positif dan kita sedang memproduksinya sesuai permintaan,” jelasnya.

Persoalan lain kembali muncul. Jumadin sempat dibingungkan dengan harga jual – saat ini di pasar tradisional sangat murah. Bila dibandingkan dengan proses produksi, tidak sebanding dengan harga pasar saat ini.

Selama ini menurut Jumadin, pelaku UMKM harus bertarung dengan harga pasar bebas. Terlebih lagi UMKM juga harus bersaing dengan pemilik modal besar. Padahal kemampuan modal pelaku usaha kecil ini cukup terbatas, tentunya tidak mampu bersaing dengan pemilik modal raksasa.

Oleh karena itu, ia menagih janji pemerintah untuk memproteksi harga pasar agar sepadan. Pemerintah daerah, provinsi hingga pemerintah pusat agar membuat kebijakan setiap produk lokal berbasis UMKM, harga dapat dilindungi oleh negara dan ditetapkan sesuai dengan proses produksi.[]

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...