TBC Masih Mengancam Aceh

Waktu Baca 5 Menit

TBC Masih Mengancam Aceh
Ilustrasi. Foto by kompas.com

Tuberkulosis (TBC) penyakit lama yang masih menjadi pembunuh terbanyak di antara penyakit menular di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan di Aceh dan Sumatera Utara kasus pada laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan perempuan.

Berdasarkan jumlah kasus di Indonesia pada 2019 sebanyak 543.874 orang, menurun bila dibandingkan pada 2018 sebesar 566.623 kasus. Laki-laki lebih tinggi 1,4 kali terinfeksi TBC dibandingkan perempuan di seluruh provinsi di Nusantara ini.

Sehingga menjadikan Indonesia negara kedua tertinggi penderita penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Terlebih tingkat Case Detection Rate (CDR) masih sangat rendah, masih di bawah standar dari WHO.

Data Global Tuberculosis Report 2019 yang dirilis oleh WHO pada 17 Oktober 2019, dunia pun masih belum terbebas dari penyakit menular tersebut. Bahkan tidak berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan End TB Strategy  2020, yaitu mengurangi TB sebesar 20 persen dari jumlah kasus  2015-2018. Namun, antara 2015 dan 2018, penurunan kumulatif kasus TB hanya sebesar 6,3 persen.

Begitu juga dengan penurunan jumlah total kematian akibat TB antara tahun 2015 dan 2018 secara global sebesar 11 persen persen, yang berarti kurang dari sepertiga target yang sebesar 35 persen pada tahun 2020. 

Kasus baru tuberkulosis secara global sebesar 6,4 juta, setara dengan 64 persen persen dari insiden tuberkulosis (10 juta). Tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di dunia yang menyebabkan kematian sekitar 1,3 juta pasien (WHO, Global Tuberculosis Report, 2018). 

Dunia ingin mencapai eliminasi TBC pada tahun 2030 dan Indonesia turut berkomitmen mencapainya. Karena pengendalian TBC merupakan salah satu indikator tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan sektor kesehatan di suatu negara.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tentang Profil Kesehatan Indonesia 2019 yang dikeluarkan 2020.  Tingkat deteksi kasus atau CDR di Indonesia belum memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 90 persen.

Data menunjukkan, hingga 2019 Indonesia belum mampu memenuhi standar WHO untuk CDR TBC secara nasional yang baru tercapai 64.5 persen. Kendati demikian cenderung meningkat CDR dibandingkan 10 tahun lalu.

Sementara ditinjau berdasarkan provinsi tingkat capaian CDR, hanya Jawa Barat dan Gorontalo yang sudah memenuhi standar WHO. Selebihnya masih berada di bawah angka CDR yang direkomendasikan oleh WHO.

Jawa Barat menduduki peringkat pertama capaian CDR di Indonesia dengan angka  96.2 persen, lalu Gorontalo 94.6 persen data pada 2019. Sementara ibu kota negara DKI Jakarta berada pada posisi ketiga capaian CDR sebesar 87.5 persen, masih di bawah standar WHO.

Banten peringkat ketiga dengan CDR 87.2 persen, dan Sulawesi Utara 85.5 persen, masih di bawah CDR yang ditetapkan oleh WHO. Sedangkan provinsi selebihnya di Nusantara ini berada di bawah angka 68 persen, termasuk Aceh berada di peringkat 27 secara nasional tingkat capaian CDR penyakit TBC dengan angka hanya 41.0 persen.

Angka Kesembuhan

Angka kesembuhan TBC di Indonesia dalam kurun waktu 11 tahun terakhir mengalami penurunan, kendati capaiannya sudah di atas target yang ditetapkan WHO sebesar 85 persen. Termasuk Aceh tingkat kesembuhan sudah di atas standar WHO yaitu mencapai 89.4 persen.

Jika merujuk pada target yang ditetapkan renstra Kementerian Kesehatan untuk indikator ini yang sebesar 85 persen, maka secara nasional angka keberhasilan pengobatan tuberkulosis telah tercapai termasuk pada tahun 2019 yang sebesar 86,6 persen. 

Sedangkan indikator pengobatan khusus untuk pasien tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis yaitu angka kesembuhan (cure rate) pada tahun 2019 sebesar 73,2 persen.Provinsi yang mencapai angka keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis minimal 85 persen pada tahun 2019 sebanyak 20 provinsi (58,8 persen). []

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...