20 Tahun Tragedi Jambo Keupok Aceh Selatan: Merawat Ingatan, Menuntut Keadilan

Waktu Baca 8 Menit

20 Tahun Tragedi Jambo Keupok Aceh Selatan: Merawat Ingatan, Menuntut Keadilan
Ikhwanul Afwa (Ist)

Oleh: Ikhwanul Afwa*

Mengenang tragedi kelam Jambo Keupok, usai 20 tahun lamanya penyiksaan tersebut kini diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat. Hal itu sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi berdasarkan keterangannya seperti dilansir dari laman resmi Sekretariat Kabinet RI, Rabu (11/1/2023). 

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” kata Jokowi. 

“Dan, saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003,” tambahnya.

Tragedi Jambo Keupok yang terjadi pada 17 Mei 2003 adalah sebuah peristiwa mengandung pelanggaran HAM berat di salah satu desa yang berada di wilayah Kabupaten Aceh Selatan, Aceh yaitu Desa Jambo Keupok. Peristiwa ini diawali dengan adanya informasi dari seorang warga (cuak), kepada Anggota TNI bahwa pada 2001-2002, Desa Jambo Keupok termasuk salah satu daerah basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh aparat keamanan dengan melakukan razia dan menyisir ke kampung-kampung. Dalam operasinya, aparat keamanan sering melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil, seperti penangkapan, penghilangan, orang secara paksa, penyiksaan, dan perampasan harta benda.

Puncaknya pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 07.00 pagi, sebanyak 3 (tiga) truk reo berisikan ratusan pasukan berseragam militer berbekal topi baja, sepatu lars, membawa senjata laras panjang dan beberapa pucuk senapan mesin mendatangi Desa Jambo Keupok Aceh Selatan tersebut. Saat itu pihaknya (TNI) memaksa seluruh pemillik rumah keluar, lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak semua disuruh dan dikumpulkan di depan rumah seorang warga.

TNI menginterogasi warga satu persatu dan menanyakan tentang keberadaan orang-orang GAM yang mereka cari selama ini. Ketika warga menjawab tidak tahu, pelaku langsung memukul dan menendang warga tanpa ada rasa belas kasihan.

Akibat dari peristiwa tersebut mengakibatkan 4 warga sipil meninggal dunia dengan cara ditembak, juga 12 warga sipil lainnya meninggal dengan cara disiksa, dan dibakar hidup-hidup di dalam sebuah rumah kosong.

Kemudian 3 rumah warga dibakar, 1 orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4 orang perempuan ditendang dan dipukul dengan senjata laras panjang.

Perlakuan kekerasan tersebut membuat warga harus segera mengungsi ke desa tetangga dan menginap di sebuah mesjid selama 44 hari. Hal ini, menimbulkan rasa ketakutan akan kembali TNI ke desa tersebut dan melakukan penyiksaan yang sama terhadap warga. Peristiwa Jambo

Keupok sudah 20 tahun yang lalu, namun warganya kurang memperoleh perhatian oleh pemerintah bahkan banyak keluarga korban sampai sekarang masih mengalami trauma (gangguan psikologis).

Dua hari setelah tragedi tersebut, Presiden Megawati mengeluarkan Keppres 28/2003 menetapkan Darurat Operasi Militer (DOM) di Aceh. Operasi ini masih terus berlangsung hingga ketika gempa bumi dan tsunami menghancurkan Aceh pada 26 Desember 2004.

Tragedi ini telah mendorong para pihak GAM dan Pemerintah Indonesia untuk menanggalkan sikap ego. Tepat pada 15 Agustus 2005, di Helsinki Finlandia, kedua pihak menandatangani naskah perjanjian damai yang mengakhiri konflik 30 tahun Aceh (GAM-RI Damai).

Melihat masa lalu itu dari peran pemerintah terhadap korban konflik khususnya di Jambo Keupok Aceh Selatan itu sejauh ini sudah dengan memberi perlindungan hukum, mengungkap semua pelaku-pelaku yang terlibat dalam peristiwa tersebut yang menghilangkan puluhan nyawa, harta, dan benda-benda yang berharga.

Meskipun belum sepenuhnya terpenuhi hak para korban, namun pemerintah sudah bertanggung jawab atas tragedi kekerasan yang menimpa warga Jambo Keupok tersebut. Dalam hal ini pemerintah juga terus memantau kondisi keluarga korban baik dari segi ekonomi, pendidikan, dan lapangan kerja.

Kondisi kehidupan sosial korban konflik pascadamai bisa dikatakan sudah lebih baik dari sebelumnya dan mereka sudah beraktivitas seperti warga-warga yang lainnya. Hanya saja keluarga korban, masih merasakan trauma atas kejadian 20 tahun yang lalu yang masih membekas sampai sekarang.

Namun dalam hal ini untuk mengurangi kesedihan keluarga korban pemerintah memberi bantuan baik dalam bentuk rumah, uang tunai, membuka lapangan kerja, dan membiayai semua anak-anak konflik sampai tamat SMA. Namun jika dikaji lebih mendalam lagi, ada kesenjangan dalam memberi bantuan kepada pihak korban.

Penyaluran bantuan yang tidak merata dan terbatas inilah menjadi sebuah permasalahan. Harapannya pemerintah dapat memaksimalkan upaya perbaikan kualitas hidup korban dengan cara memperjuangkan atas hak-hak korban konflik, khususnya masyarakat warga Jambo Keupok.

Kondisi yang penuh dengan keterbatasan membuat warga Desa Jambo Keupok menaruh harap pada pemerintah. Setidaknya untuk pemenuhan beberapa hal berikut:

(1) penguatan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan yang relevan yang dapat menambah pengetahuan dan keahlian mereka; (2) pemberdayaan ekonomi korban dan masyarakat setempat; (3) program beasiswa pendidikan untuk anak-anak korban; (4) pembangunan kuburan masal korban peristiwa Jambo Keupok dan dukungan peringatan peristiwa Jambo Keupok setiap tanggal 17 Mei (5) pembangunan infrastruktur desa, seperti jalan, akses air bersih, dan mushala.

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Editor:

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...