Peran Lembaga Islam Dan Santri Dalam Merebut Kemerdekaan Indonesia

Oleh: Fahmi Rezeki Albuntuny
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki penduduk yang beragama islam terbanyak di dunia. Berdasarkan catatan nationsonline.org yang dikutip dari katadata, tercatat sekitar 84% atau 229 juta jiwa. Mayoritas penduduk muslim di Indonesia adalah Sunni. Ada juga Islam Syiah sebanyak 0,43%. Sementara, agama lain didominasi oleh Kristen.
Oleh sebab itu, tidak heran jika peranan umat islam di nusantara masih dan terus akan ada karena memang pada dasarnya pada ajaran islam itu sendiri agama mengajarkan jika cinta kepada tanah air atau hubbun wathoni merupakan salah satu implementasi dari imannya seseorang itu terhadap Allah Swt dan rasul-Nya.
Kilas balik bagaimana pendidikan islam itu sendiri dibentuk dan di bangun bukannya berlandaskan teori, tetapi para ulama yang mengabdikan dirinya di suatu lembaga sekolah keislaman atau di daerah Indonesia disebut dengan dayah maupun pesantren, sangat-sangatlah ketat dan disiplin dalam mempelajari dan mengimplementasikan agama Allah dan rasul-Nya.
Misalnya ketika penjajahan mulai meraba di nusantara, umat islam khususnya kaum santri banyak sekali dibekali oleh para tengku atau kiai ilmu bela diri dan ilmu taktik perang. Karena pada dalam diri santri yang diasuh itu telah ditanamkan yang namanya cinta tanah air merupakan dari iman, ditambah lagi dengan adanya kata kata-kaum musyrikin Belanda yang berusaha menyebarluaskan ajarannya secara paksa.
Dampaknya banyak ulama-santri yang tidak pernah padam melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda sehingga meledakkan perang besar sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro. Pasukan Pengaran Diponegoro selain terdapat para bangsawan, juga dipenuhi para ulama-santri dari berbagai penjuru Jawa. Para ulama-santri itulah yang dikemudian hari meneruskan perjuangannya ketika Pangeran Diponegoro ditangkap.
Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey, menemukan 108 Kyai, 31 Haji 15 Syekh, 12 Penghulu Yogyakarta dan 4 Kyai guru yang turut berperang bersama Diponegro, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, mereka menyebar dan mendirikan basis-basis perlawanan dengan mendirikan masjid-masjid dan pesantren-pesantren jauh dari pusat-pusat tangsi Belanda. Beberapa pondok pesantren tua di Jawa, terutama Jawa Timur yang menyimpan kronik-kronik sejarah ini.
Kiprah santri dalam membela negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 1943-1945, hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah laskar hisbullah dan sabilillah. Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren berlatih perang dan olah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa pelawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.
Pada 21 oktober 1945, berkumpul para kiyai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 oktober 1945 dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.
Yang menariknya dari paparan waktu masa penjajahan itu adalah masyarakat pada saat itu lebih mendahului perintah para ulama ketimbang para pejabat, hal ini dinilai wajar dikarenakan pada saat itu pengaruh agama dalam jiwa masyarakat sangatlah dalam dan menenangkan sehingga banyak sekali dari para ulama ikut berperan dalam merumuskan suatu masalah dan persoalan di negeri ini.
Hal itu dapat kita lihat pada saat peristiwa resolusi jihad mengisyaratkan dua kategori dalam berjihad. Pertama, fardlu ‘ain bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 KM dari episentrum pendudukan penjajah. Dalam Islam, fatwa “fardlu ‘ain” mengimplementasikan kewajiban yang harus dijalankan bagi setiap orang yang sudah mukallaf (aqil baligh).
Kedua, fardlu kifayah bagi warga yang berada di luar radius tersebut. Namun dalam kondisi tertentu dan darurat, maka bisa dinaikkan statusnya menjadi fardlu ‘ain. Fardlu kifayah merupakan sebuah kewajiban yang menjadi gugur apabila sudah dilakukan oleh salah satu orang dalam sebuah daerah/komunitas.
Resolusi jihad mempunyai dampak yang besar bagi gerakan perlawanan terhadap Inggris di Surabaya. Puncaknya adalah tanggal 10 November 1945, yakni terjadi pertempuran super dahsyat antara santri dan arek Surabaya melawan militer Inggris.
Momentum besar tersebut sampai saat ini kemudian diabadikan sebagai hari pahlawan. Resolusi Jihad ini sebenarnya merupakan konsistensi keputusan politik terhadap konsepsi dar al-Islam, dimana keberadaan negara Indonesia sebagai negara “Islam” yang wajib dibela dan dipertahankan.
Namun dewasa ini hal yang terjadi di negeri ini adalah prgerakan umat islam banyak yang dicekal, sebut saja seperti pergrakan FPI (From Pembela Islam) yang jika kita lihat subtansinya tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, kaum santri saat ini di anggap kolot dan tak mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap bangsa, partai-partai islam mendapatkan prilaku tidak mengenakkan dan masih banyak lagi hal lainnya yang seolah-olah bangsa ini tidak pernah membaca sejarah yang didalamnya islam memiliki peran penting dan menjadi garda terdepan bangsa.
Dari itu, tulisan ini berharap dapat memberi gambaran seperti apa sebenarnya perjuangan santri dalam melawan penjajah Belanda di masa lalu. Keterlibatan santri, didominasi oleh doktrinasi para sang guru atau kiyai dengan memotori pembelaan tanah air dan juga jihad di jalan Allah Swt. Inilah bentuk partisipasi santri dalam mengusir penjajah dari negeri ini.
Fahmi Rezeki Albuntuny merupakan mahasiswa prodi Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Komentar