“Pride of Gayo”, Upaya Lestarikan Seni Didong di Masa Stagnasi

Kesenian Didong yang dulu pernah berjaya di Aceh saat ini tengah berada di masa stagnasi. Pemerintah Aceh tengah berupaya melestarikan kesenian asal dataran tinggi Gayo tersebut.
Pada 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan Didong sebagai warisan budaya tak benda. Namun sejatinya, pelestarian kesenian tersebut belum maksimal.
Pada awalnya Didong jadi sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Masyarakat menerimanya dengan baik, dan itu memudahkan para tokoh untuk syiar agama Islam.
Dalam perkembangannya, penampilan Didong tidak hanya terdapat pada hari-hari besar agama Islam. Seni itu juga terdapat dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya.
Pada masa penjajahan jepang, kesenian Didong menjadi medium aspirasi protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, Didong jadi sarana pemerintah menjembatani informasi hingga ke desa-desa. Khususnya, untuk menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara.
Sebagai upaya untuk melestarikan kesenian ini, Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh menggelar pentas Didong tahun 2021. Pentas itu bertema ‘Pride of Gayo’ yang berlangsung di Hotel Amel & Convention Hall Banda Aceh, pada 10 April 2021 lalu. Puluhan tamu undangan dan pegiat seni hadir dalam acara ini.
Pertunjukan tarian Munalo muncul mengawali penyambutan para tamu undangan. Unsur budaya yang kental dari tanah Gayo ini sudah mulai tampak sejak awal acara.
Kepala Bidang Bahasa dan Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Nurlaila Hamjah hadir mewakili pemerintah pada prosesi penyambutan tamu. Prosesi berlangsung simbolis, dengan penyelendangan kain bermotif Kerawang Gayo di bahunya.
Nurlaila berharap acara ini dapat menjadi wadah bagi seniman untuk mempertunjukkan karya serta apresiasi terhadap nilai seni itu sendiri.
“Didong ini merupakan seni kebanggaan masyarakat dari tanah tinggi Gayo, penting terus menjaga serta melestarikannya sebagai warisan kepada generasi selanjutnya,” terang Nurlaila dalam siaran persnya, Senin (12/4/2021).
Sebagai wujud apresiasi pemerintah kepada seniman didong, Disbudpar Aceh juga menyerahkan plakat serta uang tunai untuk keluarga salah satu maestro Didong, Alm. Abdul Kadir Toet. Perwakilan anaknya hadir menerima penghargaan itu.
Dalam pentas seni itu pula, pelaku seni dataran tinggi Gayo menyuguhkan perpaduan seni pentas pertunjukan musik etnik, tari Guel, tari Saman dan Didong. Seluruhnya berpadu menjadi satu dalam tema Pride Of Gayo.
Selain acara kesenian, dalam kegiatan itu juga ada sesi talkshow membahas kesenian di Aceh dengan narasumber pegiat seniman.
“Sejarah Didong mengalami masa jaya dan masa stagnasi, dari periode ke periode. Abdul kadir To’et atau yang lebih akrab dipanggil To’et merupakan seniman yang memadukan unsur tari, vokal dan sastra. Beliau adalah penerima Anugerah Bintang Jasa Nararya dari Presiden RI pada tahun 2010,” pungkas Nurlaila.
Terpisah, Wakil Ketua DPR Aceh, Hendra Budian, lewat siaran jarak jauh menerangkan bahwa penyelenggaraan pentas seni merupakan aksi nyata dalam upaya melestarikan kesenian didong.
“Kita mengapresiasi kegiatan pentas seni Didong yang melibatkan banyak pihak. Ini upaya nyata dalam melestarikan kesenian didong untuk kembali berjaya,” ujar Hendra.
Dalam rangkaian acara puncak kegiatan itu panitia menyerahkan hadiah kompetisi dengan total hadiah Rp34,5 juta.(ril)
Komentar