Hari Perempuan Internasional (5): Berdaya dari Akar Rumput
Jalan panjang pemenuhan hak perempuan terus menuai tantangan. Tekanan menjejali segala ruang, sedari domestik hingga ranah publik. Bangunan masyarakat patriarkis telah membatasi ruang gerak perempuan untuk mencapai kedaulatan atas diri dan lingkungan di sekitarnya.
Potret timpangnya relasi ini lebih jauh berkait kelindan dengan corak pembangunan ekonomi, terutama di banyak wilayah yang kaya dengan sumber daya alam. Akumulasi modal menuntut pengelolaannya diarahkan demi pertumbuhan ekonomi melalui investasi skala besar dan industrialisasi.
Masyarakat pun terpaksa membayar mahal. Konflik lahan, krisis lingkungan, hingga tergerusnya interaksi sosial di antara masyarakat sendiri, hanya sekelumit dari dampak yang sudah dituai.
Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh (SP Aceh) telah membaca situasi ini sejak lama. Mereka beranjak dari satu hal, paradigma pembangunan yang bertumpu pada industri skala besar di Aceh, secara praktis membuat masyarakat tercerabut dari ruang hidup mereka. Salah satu sebabnya, model pembangunan itu gagal menakar aspek keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan akibat eksploitasi yang masif.
“Terancamnya sumber daya alam di sekitar wilayah pertambangan di Aceh, dapat dilihat dari krisis yang muncul kemudian, polusi, banjir bahkan kekeringan. Kalau sudah terjadi, semua kalangan di masyarakat kena imbasnya, terutama kalangan perempuan,” kata Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Aceh, Elvida saat ditemui readers.ID, Minggu (7/3/2021).
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional (1): Menyelisik Ruang Aman, Hari Ini
Dalam momen memperingati Hari Perempuan Sedunia, Elvida merefleksikan banyak hal dari rangkaian kerja SP Aceh di beberapa tahun terakhir. Kepada readers.ID, ia bercerita banyak, dari isu kekerasan sampai ke persoalan minimnya akses perempuan untuk mengelola sumber daya alam mereka.
Seperti pada proses pendampingan SP Aceh ke sejumlah gampong di Kecamatan Peukan Bada, Lhoknga dan Leupung di Aceh Besar. Beberapa gampong tengah dilanda krisis air bersih.
Namun tak banyak yang cermat, bahwa perempuan adalah pihak yang paling terdampak dari krisis tersebut.
“Peran domestik menekan perempuan untuk memenuhi kebutuhan rumah, salah satunya air,” ujarnya.
Sumur yang kering memaksa masyarakat harus membeli air untuk konsumsi sehari-hari. Kondisi itu memang menyita perhatian Pemerintah Aceh Besar, DPRK hingga pemerintah provinsi. Krisis itu sempat ditanggulangi dengan dukungan suplai air dari BNPB Aceh, DPRK dan lembaga lainnya.
“Namun upaya itu tidak mungkin menjamin pemenuhan jangka panjang, karena persoalan krisis ini mengakar pada proyek pembangunan maupun tambang di sekitar gampong,” terang Elvi.
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional (2): Jejak Perjuangan Seabad
SP Aceh berupaya memfasilitasi peningkatan kapasitas perempuan di gampong setempat. Mereka saling berdiskusi, membangun pemikiran kritis untuk mencermati akar masalah dari krisis yang mereka hadapi selama ini. Pelan-pelan gerakan pun terbangun, meski belum mencapai kolektif.
Kata Elvi, membangun keberanian bukan hal mudah. Kendati secara kapasitas dan daya kritis mereka telah kuat, kelompok perempuan justru sering kesulitan membangun komunikasi dengan pihak aparatur gampong.
“Mereka cenderung dianggap remeh, dianggap tidak pantas mengurusi persoalan-persoalan seperti ini, sehingga untuk menjalin kesepahaman dengan keuchik butuh waktu lama," tuturnya.
Tapi perlahan, dialog dengan otoritas di beberapa desa bisa terbangun.
Tantangan semacam ini memang lazim terjadi. Kondisi yang ada memaksa perempuan bekerja lebih keras untuk bisa dipandang serta mendapatkan porsi pengambilan kebijakan di tingkat gampong.
Namun seiring waktu, kerja keras itu menginspirasi perempuan-perempuan lainnya. Cerita keberhasilan di akar rumput pun mulai sering terdengar di banyak tempat.
"Gampong mulai melihat inisiatif perempuan, suara mereka mulai dipertimbangkan," kata Elvi.
Inisiasi Qanun Gampong
Ada cerita menarik lainnya dari perempuan di akar rumput, yaitu soal inisiatif perlindungan dan pemberdayaan perempuan lewat penyusunan qanun di tingkat gampong.
Penyusunan aturan yang sering disebut sebagai Reusam itu mulai berjalan di lima gampong, yakni di Gampong Lambadeuk di Kecamatan Peukan Bada, lalu Gampong Naga Umbang, Meunasah Moncut dan Meunasah Lambaro di Kecamatan Lhoknga, serta Gampong Deah Mamplam di Leupung.
Dari seminar, proses penyusunan reusam itu berlanjut ke diskusi kelompok terfokus yang mempertemukan kelompok perempuan dan aparatur gampong.
“Reusam ini mendokumentasikan sejumlah aturan tidak tertulis yang selama ini diterapkan warga gampong secara turun temurun. Namun sebagai bekal bagi generasi selanjutnya, aturan itu sudah waktunya dituliskan,” terang Elvi.
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional (3): Yang Bertahan di Pusaran Trauma
Reusam gampong memuat semua hal mengenai tata kelola masyarakat dan lingkungan di gampong, baik dari sisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakatnya. Termasuk juga menyertakan poin perlindungan dan pemberdayaan perempuan di gampong.
Pemberdayaan juga satu hal yang perlu dikedepankan. Tak hanya keterampilan, perempuan juga membekali diri dengan pengetahuan tentang pembangunan desa, menganalisa anggaran dan mengusulkan program-program yang tepat untuk mereka.
"Selama ini peran itu memang melekat pada laki-laki saja, sehingga wujud pembangunan pun seringkali bias gender," timpalnya.
Selain itu, aturan-aturan reusam juga diharapkan bisa lebih inklusif, selain kepada perempuan, juga mengakomodir kebutuhan difabel.
“Ketika perempuan bisa terlibat mengakses anggaran desa, maka program-program desa juga bisa akomodatif untuk semua kalangan, jadi tak mereka tak melulu di PKK saja,” imbuh Elvi.
Kelima gampong yang didampingi SP Aceh berhasil menyusun draft reusam. Kesepakatan dengan aparatur gampong agar draft itu bisa diterapkan secara resmi, masih perlu waktu.
Namun di tahun 2019, upaya ini membuahkan hasil di dua desa, Gampong Naga Umbang dan Meunasah Moncut. Qanun tingkat gampong itu resmi diberlakukan.
“Di Moncut, reusam itu jadi credit point ketika mereka ikut lomba desa teladan, begitu juga saat bertemu dengan pihak Pemkab, inisiatif ini dinilai sebagai terobosan,” tutur Elvi.
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional (4): Ruang Gerak yang Terlalu Sempit
Belajar dari keberhasilan ini, SP Aceh menganggap penting sinergi antar elemen di desa untuk menyukseskan agenda perempuan. Perempuan di akar rumput --yang disebut SP Aceh sebagai ‘perempuan pemimpin’-- ialah kalangan yang paling sentral untuk menentukan arah pembangunan yang berperspektif gender.
“Mereka bisa terlibat aktif membangun desa, tahu apa yang mereka butuhkan dan sumbangsih mereka sangat bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan di sekitarnya,” katanya lagi.
Keberhasilan perempuan untuk terlibat dalam mengelola aset dan sumber daya di gampong, juga banyak terjadi di daerah-daerah lain. Namun capaian itu semua menoreh cerita panjang.
Riwayat perampasan sumber daya alam telah sejak lama mengabaikan nasib mereka. Meski mengalami dampak berlapis, beban itu seakan dinafikan di masyarakat. Anggapan bahwa ‘persoalan desa bukan urusan perempuan’ adalah kalimat yang paling sering terdengar, sekaligus melanggengkan stigma yang makin melemahkan mereka.
“Mematahkan stigma itu sangat sulit, ini kerja panjang yang perlu disadari semua pihak,” tandasnya.[]
Komentar