Masyarakat Gayo dan Raja Raya di Simalungun dalam Melawan Belanda

Menurut Johan Wahyudi dalam perbincangan itu, dirinya menemukan ada catatan kecil kisah dan sejarah menarik antara orang Gayo dengan seorang raja di Simalungun, yaitu Tuan Rondahaim.

Waktu Baca 6 Menit

Masyarakat Gayo dan Raja Raya di Simalungun dalam Melawan BelandaHarianSIB.com
Tuan Rondahaim merupakan Raja Kerajaan Raya di Simalungun. (Foto: Net/harianSIB.com

BANDA ACEH, READERS – Pusat Kajian Kebudayaan Gayo telah melaksanakan momentum bincang sejarah masa silam pada Senin (2/8/2022) lalu.

Perbincangan tersebut dibalut dengan daring terkait “Peran Orang Gayo Menghadapi Kolonialisme Belanda di Sumatera”.

Turut andil sebagai narasumber Dosen Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Johan Wahyudi, M.Hum.

Menurut Johan Wahyudi dalam perbincangan itu, dirinya menemukan ada catatan kecil kisah dan sejarah menarik antara orang Gayo dengan seorang raja di Simalungun, yaitu Tuan Rondahaim.

“Saya dan Prof. M. Dien Madjid menemukan detail kecil dari kisah Tuan Rondahaim, calon pahlawan nasional dari Sumatera Utara, yang rupanya sangat berkesan, dari arsip-arsip lama berbahasa Belanda,” kata Johan dalam keterangan yang diterima READERS.ID, Rabu (3/8/2022).

Bincang sejarah mengenai “Peran Orang Gayo Menghadapi Kolonialisme Belanda di Sumatera”. (Foto: screenshot Ysr).

Saya saja, lanjutnya, yang bukan orang Gayo sangat terkesan. Ternyata, orang-orang Gayo itu, meskipun mereka juga tinggal di pendalaman, pegunungan, Dataran Tinggi Gayo, tapi koneksinya, ruang jelajahnya sangat luas sekali, kata Johan Wahyudi, dalam bincang ke-25 PKKG yang digelar secara daring dan dimoderatori Yusradi Usman al-Gayoni. 

Johan menyebutkan, Tuan Rondahaim menurut catatan Belanda, sempat berjelajah ke Aceh. Di tengah perjalanan pulang, Tuan Rondahaim mampir dan berkunjung ke Dataran Tinggi Gayo. Di sana, dia berguru bela diri. 

“Tapi, saya belum cross check lebih jauh, apakah di Tanah Gayo ada silat-silat tertentu. Jurus-jurus yang memang hanya dikuasai orang Gayo sendiri atau mungkin ada pengaruh dari Aceh. Itu kita belum ada penelitian lebih lanjut secara spesifik,” sebut Johan. 

Tuan Rondahaim, lanjutnya, sangat terkesan dengan pengetahuan silat, bela diri, orang Gayo, Alas, dan orang Aceh. 

“Tuan Rondahaim merupakan Raja Kerajaan Raya di Simalungun. Coraknya masih kepercayaan lokal. Agama Tuan Rondahaim, belum Kristen, tapi pelbegu. Ketika dia berkunjung ke Aceh, masih dalam kondisi belum muslim,” tambahnya. 

“Saat itu, pergaulan manusia tidak memandang agama. Pokoknya, sama Sumatera. Apalagi, ada satu ikatan historis, antara orang Batak dan orang Gayo, ada kisah Batak 27. Itu tidak bisa dihapuskan, ikatan emosional orang Batak dan orang Gayo,” ungkap peneliti Peradaban Islam Awal di Aceh Tengah: Studi Atas Kerajaan Linge Abad XI-XIV

Pada akhirnya, terang Johan, Raja Rondahaim mendatangkan orang-orang Gayo, orang Alas, dan orang Aceh ke Raya, Simalungun. 

Mereka diberi tugas untuk mementori, mengajarkan ilmu bela diri, ilmu pertahanan, ilmu militer kepada pasukan-pasukan Raya, yang saat itu memang sudah berselisih dengan pemerintah kolonial Belanda yang ada di sekitar Tebing Tinggi.

“Pasukan Belanda sudah mulai bersiap, ingin melakukan ekspansi, pendudukan kawasan pedalaman Sumatera bagian utara, tanah Batak. Jumlah orang Gayo yang didatangkan dari Gayo puluhan orang,” sebut Johan yang juga penulis Sejiran Tak Sejalan: Diplomasi Kesultanan Aceh dengan Johor Abad XVI-XVII

Setelah itu, pasukan Raya sudah siap untuk bertempur, berjuang menghadapi militer kolonial Belanda. Pada akhirnya, Belanda tidak mampu menguasai Kota Simalungun. 

“Ada hal yang menarik. Ada di antara orang Gayo, tidak saja melatih militer, tetapi juga ikut bertempur. Saya salut juga sama orang Gayo,” ujarnya lagi.

Meskipun dia jauh dari kampung, lanjutnya, tapi ada semacam keterpanggilan hati, meskipun bukan di kampungnya sendiri. Mereka tetap berjuang melawan kolonial Belanda di mana pun mereka berada. Terpanggil berperang bersama orang-orang Batak itu sendiri. 

“Jadi, sudah dianggap seperti tanah air sendiri. Apakah ini semacam protonasionalisme. Saya kira, itu bisa diteliti lebih lanjut,” tegas editor buku, Sejarah Awal Islam di Gayo Abad XI-XIV, yang ditulis sejarawan Prof. Dr. M. Dien Madjid. 

Sumber:PKKG/Ysr

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...