Pilkada Aceh, antara Komunikasi Tersumbat dan Lobi Lemah
Komisi Pemilihan Independen (KIP) Aceh memutuskan menunda pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh 2022. Setelah tidak ada titik temu antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh. Hal ini terjadi akibat komunikasi yang tersumbat dan lobi yang lemah.
Sebelumnya KIP Aceh menetapkan tahapan Pilkada Aceh merujuk Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) - yang merupakan regulasi lex specialist menetapkan perhelatan pesta demokrasi pada 2022 mendatang.
Tetapi Pemerintah Pusat telah memutuskan perhelatan pelaksanaan Pilkada serentak digelar pada 2024 mendatang. Ada terjadi silang versi soal jadwal pesta demokrasi yang seharusnya dihelat selama 5 tahun sekali.
Permintaan penundaan Pilkada Aceh 2022 menjadi 2023 disampaikan langsung oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai dengan surat dari KPU bernomor 151/PP.01.2-SD/01/KPU/11/2021 yang ditujukan ke KIP Aceh tertanggal 11 Februari 2021.
Permintaan penundaan tahapan Pilkada Aceh 2022 ditunda hingga 2024. KPU menuliskan dalam surat tersebut merujuk Undang-Undang nomor 6 Tahun 2020, pelaksanaan Pilkada serentak seluruh Indonesia pada 2024 mendatang.
“KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota, agar tidak menjalankan tahapan pemilihan apa pun sampai ada putusan sesuai dengan Undang–Undang Nomor 6 Tahun 2020,” sebut Plt Ketua KPU, Ilham Saputra dalam surat tanggapan ke KIP Aceh tertanggal 11 Februari 2021.
Plt KPU Ilham Saputra

Menurut pihak KPU, pelaksanaan Pilkada Aceh yang berpedoman pada UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, tidak terdapat pengaturan secara jelas terkait dengan waktu penyelenggaraan pemelihan serentak di Aceh.
“Dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak terdapat pengaturan secara jelas terkait dengan waktu Penyelenggaraan Pemilihan serentak di Aceh hasil pemungutan suara tahun 2017 diselenggarakan pada tahun 2022,” tulis Ilham.
Selanjutnya, KPU juga menyebutkan berdasarkan ketentuan Pasal 201 ayat (3) dan ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan pemilihan serentak 2024. Mengakibatkan Pilkada di Aceh tidak dapat dilaksanakan pada 2022.
Kemudian, terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Tahun 2022, berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri nomor 270/6321/SJ tertanggal 20 November 2020 perihal Pelaksanaan Pilkada Aceh dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, Pasal 122A ayat (2) menyatakan bahwa penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sementara, hingga saat ini dalam surat itu disebutkan belum ada kepastian mengenai rencana revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan Pemilihan Tahun 2022 sebagai bentuk keputusan politik para pihak.
Karena belum adanya titik temu – selain itu KPU juga telah menyurati KIP Aceh melarang pelaksanaan Pilkada Aceh 2022 mendatang. KIP Aceh kemudian menggelar rapat pleno Jumat (2/4/2021) malam, memutuskan menunda seluruh tahapan pelaksanaan Pilkada Aceh.
“Penundaan seluruh tahapan program dan jadwal penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota dalam Provinsi Aceh tahun 2022,” kata Samsul, saat dikonfirmasi usai rapat.
Ketua KIP Aceh, Samsul Bahri
Keputusan menunda tahapan program jadwal penyelenggaraan Pilkada 2022, kata Samsul, dikarenakan gubernur Aceh tidak bisa menganggarkan dana untuk kegiatan tersebut.
“Ini dasarnya, dasar surat gubernur, bahwa gubernur tidak bisa menganggarkan uang karena tidak ada keputusan pemerintah,” ungkapnya.
KIP Aceh tidak bisa memastikan bila penundaan itu dilatarbelakangi karena tidak adanya anggaran. Mereka hanya menanggapi surat yang dikeluarkan gubernur.
“Kita tidak lagi ngomongin itu –masalah tidak ada anggaran–, sesuai surat gubernur nanti terserah gubernur,” imbuhnya.
Hasil rapat pleno ini nantinya akan diserahkan KIP Aceh ke Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk diteruskan ke Pemerintah Aceh.
“Sesuai dengan qanun mengusulkan penundaan seluruh tahapan ini kepada pimpinan DPRA untuk diteruskan kepada gubernur Aceh. Itu putusan kami,” ujarnya.
Pengamat Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Mawardi Ismail menilai, pelaksanaan Pilkada Aceh tidak tertunda bila Pemerintah Aceh memiliki pola komunikasi cerdas dengan pemerintah pusat.
Akibat pemerintah Aceh kurang cerdas dalam menjalin komunikasi dengan Pemerintah Pusat. Sehingga pelaksanaan Pilkada Aceh 2022 tertunda, padahal Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang merupakan regulasi lex specialist Aceh dapat dilaksanakan tepat waktu, tanpa ada penundaan.
Menurut Mawardi, pesta politik Aceh 2022 bisa saja terlaksana jika ada komunikasi yang intensif dari pemerintah. Namun, sampai saat ini komunikasi yang cerdas dan intensif itu belum berhasil dijalankan oleh pemerintah Aceh, khususnya Gubernur Aceh, Nova Iriansyah kurang cerdas dalam membangun komunikasi dengan Pemerintah Pusat.
"Aceh harus membangun komunikasi politik yang intensif dan cerdas. Sehingga keinginan untuk melaksanakan pilkada 2022 tercapai, tapi ternyata sampai saat ini belum berhasil menjalankan misi komunikasi yang cerdas itu," kata Mawardi, di Banda Aceh, Selasa (6/4/2021).
Menurut Mawardi, bila pemerintah Aceh tidak melakukan komunikasi dengan baik dengan pemerintah pusat. Bila nantinya memaksakan diri tetap melaksanakan Pilkada Aceh 2022 memiliki konsekuensi tersendiri.
Karena bagaimana pun keputusan yang ditetapkan, sebutnya, Pilkada tidak hanya program dan kegiatan daerah saja. Melainkan juga bagian dari kegiatan secara nasional.
Menurutnya, keputusan pemerintah tentang Pilkada Aceh itu menjadi penting. Sebab, pelaksanaan pilkada itu berkaitan dengan kewenangan pemerintah.
"Misalnya, kalau pemerintah tidak menginzinkan Pilkada 2022. Terlepas masalah itu sudah diatur dalam undang-undang atau tidak. Otomatis akan timbul masalah jika kita laksanakan terus," jelasnya.
Dikatakan dia, jika tetap bersikukuh menjalankan Pilkada pada tahun 2022, maka nantinya akan bermasalah pada penggunaan anggaran. Begitu juga legitimasi kepala daerah yang terpilih, bisa saja tidak mendapat pengakuan dari pemerintah pusat.
"Ketika sudah ada hasil, hasil tersebut harus dibawa kemana, siapa yang meng-SK-kan gubernur, dan siapa yang akan melantiknya. Dari mana sumber kewenangam gubernur nanti jika tidak ada SK dan pelantikan," ujar Mawardi.
Selanjutnya, kata Mawardi, mengenai ketiadaan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan Pilkada 2022, seharusnya dianggarkan khusus melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), bukan untuk hal yang lain. Karena dalam nomenklaturnya terdapat rumusan tersendiri, tidak bisa serta-merta.
"Ini kan yang unik, kata DPR Aceh sudah ada anggaran tak terduga dalam nomenklatur APBA, mengenai belanja tak terduga dia mempunyai rumusan tersendiri. Tidak bisa dengan serta merta misalnya mata anggara itu dialihkan ke mata anggaran yang lain," sebut Mawardi
Ia menambahkan, penggunaan anggaran juga harus sangat hati-hati, karena ada sejumlah aturan-aturan dan mekanisme yang harus dilalui baik eksekutif maupun legislatif.
"Juga harus sangat hati-hati dalam hal penggunaan anggaran ini, karena ada regulasinya yang khusus," pungkasnya.
Ketua Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Aceh, Hendri Yono menyebutkan, keputusan menunda jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2022 oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh adalah keputusan yang tepat.
Hal tersebut mengingat tidak tersedianya anggaran lantaran Pemerintah Aceh belum melaksanakan proses penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
“Secara aturan yang ada KIP belum bisa menjalankan, lantaran tidak tersedianya anggaran, belum adanya penandatanganan NPHD. Apa yang diputuskan oleh KIP sudah tepat,” kata Hendri Yono kepada readers.ID, Sabtu (3/4/2021).
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh itu menuturkan, Pemerintahan Aceh hingga saat ini belum berani melakukan pencairan anggaran Pilkada, karena belum ada regulasi dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang pencairan dana Pilkada.
Ia menyarankan kepada gubernur bersama pimpinan DPRA segera meminta kejelasan ke pemerintah pusat, baik Presiden maupun Mendagri dengan cara melakukan lobi politik ke DPR-RI.
“Karena tanpa ada upaya ini bisa gagal Pilkada di 2022,” ujarnya.
“Semua partai nasional di Aceh sudah didatangi oleh Komisi I DPRA ke kantor DPD masing-masing, tinggal sekarang lobi ke pusat. Ini yang harus dibentuk tim yang melobi di pusat,” lanjutnya lagi.
Hendri menambahkan, merujuk ke Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) tahun 2006, Pilkada dilaksanakan setiap lima tahun sekali. “Dapat kita pahami di Aceh ada aturan khusus dan kita harus dipertahankan,” ujarnya.[acl]









Komentar