Silang Versi Kemiskinan Aceh

Provinsi Aceh sudah mendapatkan hak khusus sejak 26 Mei 1959 sebagai daerah istimewa. Diperkokoh lagi hak kekhususan Aceh setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berdamai dengan Pemerintah Indonesia, diberikan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA).
Sayangnya meskipun kucuran dana begitu banyak ke Tanah Rencong. Aceh tetap masih berada di jurang kemiskinan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Tanoh Seulanga daerah termiskin di Sumatera.
Kondisi ini tidak sebanding dengan aliran data yang triliunan digelontorkan ke bumi Iskandar Muda. Bola liar ini pun menjadi silang versi dalam penilaian, tingginya angka kemiskinan di Aceh.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, T. Ahmad Dadek menilai, angka kemiskinan yang terjadi di Aceh tidak boleh dilihat dari satu sisi saja. Tetapi memiliki banyak faktor penyebabnya.
Dia justru berdalih, kenaikan angka kemiskinan di Aceh harus dilihat juga dari kondisi secara nasional dan dalam perspektif pandemi Covid-19. Semua pihak harus menyadari bahwa kondisi pandemi Covid-19 telah memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia dan Aceh khususnya.
Tepatkah angka kemiskinan Aceh masih tinggi harus dilihat dari perspektif Covid-19 dan kondisi ekonomi secara nasional. Secara umum benar – bahwa pandemi Covid-19 telah menghancurkan berbagai sendi-sendi perekonomian di Tanah Air.
Pertanyaan kemudian, kapan pandemi itu terjadi? Pagebluk Covid-19 baru melanda Aceh pada akhir Desember 2019 silam – hingga akhir 2020 memang belum berakhir. Kondisi ini tidak hanya dirasakan provinsi paling ujung Sumatera, tetapi semua daerah dan bahkan dunia.
Kendati demikian roda perekonomian di Aceh tidak terlalu terganggu seperti di kota-kota besar. Pusat-pusat perbelanjaan, seperti mal, pasar Aceh, Peunayong, begitu juga di kabupaten/kota masih berjalan normal.
Hanya saja saat awal pandemi, khususnya kota Banda Aceh sedikit terganggu perekonomian. Kebijakan penerapan jam malam, tidak boleh orang berkumpul di warung kopi – telah membuat banyak warung kopi harus tutup. Terlebih saat ada kebijakan setiap warkop diperbolehkan melayani pelanggan dengan cara take away atau beli dan bawa pulang.
Tetapi itu tidak berlangsung lama. Setelah itu roda perekonomian kembali menggeliar. Pusat perbelanjaan kembali disesaki oleh pengunjung – dengan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah Covid-19.
Tepatkah seperti dikatakan Kepala Bappeda Aceh, tingginya angka kemiskinan di Aceh harus dilihat dari perspektif pandemi Covid-19 dan angka kemiskinan rata-rata nasional. Kemana Dana Alokasi Khusus Aceh (DOKA) yang telah dikucurkan hingga 2020 dengan total sebesar Rp 81.402 triliuan.
Tentu ini bukan angka sedikit. Seharusnya angka kemiskinan dan pengangguran dapat diatasi dengan aliran dana yang nilainya cukup fantastis. Berbagai program kesejahteraan dapat dilakukan, terlebih DOKA sejak 2017 hingga 2020 mencapai Rp 8 triliun lebih setiap tahunnya dikucurkan.
Faktanya kondisi kemiskinan dan angka pengangguran di Aceh masih saja belum dapat diatasi. Data terbaru yang dirilis BPS Aceh, Senin (15/2/2021). Jumlah penduduk miskin di Aceh hingga September 2020 bertambah sebanyak 19 ribu orang. Sehingga, saat ini menjadi 833,91 ribu orang, atau secara persentase menjadi 15,43 persen.
Penambahan ini menjadikan Aceh kembali menjadi provinsi termiskin di Sumatera (15,43 persen), disusul Bengkulu (15,30 persen) dan Sumatera Selatan (12,98 persen). Dibandingkan sebelumnya, pada bulan Maret 2020, jumlah orang miskin di Aceh 814,91 ribu orang atau 14,99 persen. Pada 2017 silam Aceh juga pernah menjadi termiskin di Sumatera, artinya selama 4 tahun terakhir sudah dua kali menjadi ‘juara’ termiskin.
Fakta lainnya, berdasarkan data statistik yang dikeluarkan Bappeda Aceh. Pada tahun 2000 lalu angka berada pada posisi 15,20 persen dan saat itu Aceh sedang berkecamuk konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia.
Bandingkan sekarang dalam kondisi damai dan dana yang mengalir ke Aceh cukup fantastis dari DOKA dan belum lagi Pendapatan Asli Aceh (PAD) dengan total Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2020 mencapai Rp 17,2 triliun. Namun mirisnya angka kemiskinan terjun bebas dan nyaris sama dengan 20 tahun lalu.
Tak dinafikan Aceh pernah mengalami puncak angka kemiskinan cukup tinggi mencapai 32,60 persen pada 2005 silam. Tetapi saat itu Aceh dalam kondisi titik nol. Selain masih berkonflik antara GAM dengan Pemerintah Indonesia, Aceh baru saja dilanda musibah tsunami dan gempa pada 26 Desember 2004.
Setelah itu angka kemiskinan berhasil terus diturunkan paska tsunami dan gempa yang memporak-poranda Aceh dengan hadirnya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR).
Kucuran dana untuk rehab-rekon Aceh saat itu mencapai Rp 106 triliun lebih yang dikelola oleh BRR. Angka kemiskinan pun perlahan dapat ditekan dan turun hingga 2008 sebesar 23,53 persen,dari sebelumnya 32,60 persen.
Lalu pada 15 Agustus 2005 – GAM dan Pemerintah Indonesia berdamai di bawah perjanjian MoU Helsinki. Kemudian Pemerintah Pusat memberikan kewenangan penuh kepada Aceh mengelola pemerintah sendiri di bawah payung hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA.
Kompensasi dari MoU Helsinki tersebut, sejak 2008 Aceh mendapat kucuran Dana Alokasi Khusus Aceh (DOKA) sebesar Rp 3,5 triliuan lebih dan terus mengalami peningkatan hingga 2020 mencapai Rp 8 triliun lebih, dengan total yang telah diterima sebanyak Rp 81,402 triliun.
Mirisnya, kucuran dana sebesar itu belum sebanding dengan pengentasan angka kemiskinan dan penangguran di Tanah Rencong. Bahkan hingga September 2020 angka kemiskinan hampir sama dengan angka pada 2000 lalu sebesar 15,20 persen dan sekarang berdasarkan data dari BPS Aceh 15,43 persen - hanya selisih 0,23 persen dengan angka 20 tahun lalu.
Padahal bila dibandingkan dana yang dimiliki Aceh antara 2000 dan 2020 cukup timpang. Begitu juga situasi keamanan, sekarang jauh lebih baik dibandingkan 20 tahun lalu itu.
Belum lagi bila dibandingkan DOKA yang dikucurkan 2008 lalu hanya Rp 3,5 triliun, angka kemiskinan saat itu sebesar Rp 23,53 persen. Lalu dibandingkan dengan jumlah DOKA 2020 sebesar Rp 8 triliun lebih, tetapi angka kemiskinan menempatkan Aceh termiskin se-Sumatera.
Sementara DOKA akan berakhir pada 2027 mendatang, hanya tersisa 7 tahun lagi Aceh mendapat kucuran dana khusus dari Pemerintah Pusat dengan total yang tersisa Rp 41,177 triliun lebih. Sementara angka kemiskinan dan penangguran di Aceh tidak lebih baik dibandingkan tahun 2000 lalu.
Menjadi wajar saat BPS Aceh merilis data Senin (15/2/2021) menempatkan Aceh termiskin se-Sumatera menuai kritik dari berbagai elemen. Sampai-sampai ada karangan bunga menghiasi depan Kantor Gubernur Aceh, Rabu (17/2/2021) memberikan ucapan selamat atas "prestasi" Aceh termiskin di Sumatera.
BACA:
Data BPS: Aceh Kembali Jadi Provinsi Termiskin di Sumatera
MaTA: Pejabat Korup, Sebabkan Aceh Miskin
Papan Bunga Nyeleneh Kritik Gubernur Aceh, Provinsi Termiskin
Karangan bunga itu sebagai bentuk kritikan elemen sipil, bahwa Pemerintah Aceh telah gagal menyelematkan rakyatnya dari ancaman kemiskinan. Padahal kucuran dana tidak sedikit diberikan untuk Aceh.
Alih-alih Pemerintah Aceh mengakui kegagalannya dalam pengentasan kemiskinan di Aceh. Justru Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, T. Ahmad Dadek menyebutkan, kenaikan angka kemiskinan di Aceh harus dilihat dari kondisi secara nasional dan dalam perspektif pandemi Covid-19.
Persentase penduduk miskin Indonesia per September 2020 adalah 10,19 persen, lebih tinggi 0,97 poin jika dibandingkan terhadap September 2019 yang sebesar 9,22 persen.
Sedangkan jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 27,55 juta jiwa, atau meningkat sebanyak 2,76 juta jiwa dari September 2019 yang tercatat 24,79 juta jiwa. Aceh termasuk di dalamnya walaupun naik sebesar 0,44 poin dibandingkan dengan kenaikan nasional sebesar dari 9,22 persen menjadi 10,19 persen atau naik 0,93 poin.
Lagi-lagi, Dadek menjelaskan, para pihak harus menyadari bahwa kondisi pandemi Covid-19 telah memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia dan Aceh khususnya.
“Para pengkritik harus sadar kita berada di masa pandemik di mana pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dan berbagai kendala yang ditimbulkan. Mulai tidak lancarnya mobilitas ekonomi, sampai dengan dibatasinya aktivitas masyarakat,” ujar Dadek.
Dadek menjelaskan, saat ini Pemerintah Aceh terus berupaya bertahan di tengah kondisi pandemi yang berdampak pada terpuruknya perekonomian daerah.
Meskipun kenaikan angka penduduk miskin Aceh masih di bawah nasional, kata Dadek, Pemerintah Aceh terus melakukan upaya peningkatan perekonomian masyarakat terutama di tahun 2021 ini.
Pada 2021 Pemerintah Aceh memiliki total anggaran sebesar Rp 9,3 triliun lebih, yang terdiri dari APBA Rp 8,05 triliun lebih, APBN Rp 1,2 triliun lebih dan CSR Rp 41 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kemajuan di pelbagai sektor dan diharapkan akan berdampak pada penguatan ekonomi.
Dadek juga berharap agar dana desa juga difokuskan untuk pemberdayaan ekonomi terutama dalam menghadapi pandemi Covid-19 2021 sambil menunggu proses vaksinasi sehingga pandemi ini berakhir.
Selain itu, Dadek menyatakan, Pemerintah Aceh akan merangsang sektor swasta dan UMKM agar dapat bangkit di tahun 2021 ini. Sehingga pelaku UMKM bisa lebih tahan dan kreatif dalam mempertahankan keberlangsungan bisnisnya.
Menurut Dadek, isu kemiskinan di Aceh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Angka kemiskinan di Aceh meningkat tajam saat tahun 2000 sampai 2004 karena konflik bersenjata dan tsunami yang memporak porandakan Aceh pada saat itu.
“Tahun 2000 angka kemiskinan kita 15,20 dan tahun 2021 ini 15,43 persen, ini artinya Aceh tidak bisa disamakan dengan daerah lain dan harus bekerja keras dua kali lipat,” akui Dadek.
Dadek juga mengatakan, secara nasional Indonesia juga terus bekerja keras mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan di tengah pandemi Covid-19. Angka kemiskinan Indonesia juga disebut meningkat dari 9,22 persen menjadi 10,19 persen atau naik 0,93 poin.
“Sedangkan Aceh 2019 angka kemiskinan Aceh 15,01 persen tahun 2020 menjadi 15,43 persen dalam hal ini naik sebesar 0,42 persen, masih rendah dibandingkan dengan kenaikan secara nasional yang mencapai 0,93 poin,” ujar dia.
Pemerintah Jangan Buang Badan
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai, dalam merespon kritikan dan angka kemiskinan. Pemerintah Aceh seperti mencoba buang badan. Seolah-olah perkara kemiskinan bukan kesalahan pemerintah Aceh.
Pemerintah tidak bisa mengkambinghitamkan pandemi Covid-19 yang membuat Aceh termiskin di Sumatera. Menurut Koordinator MaTA, Alfian, salah satu faktor Aceh menjadi provinsi termiskin di Sumatera, karena perilaku pejabat yang koruptif, serta belum ada upaya dalam mencegahnya.
Karena itu, seyogyanya perilaku itu harus segera diberantas. Jika tidak akan terus berdampak buruk bagi Aceh masa yang akan datang. Kondisi kemiskinan di Aceh dari tahun ke tahun terus berada di peringkat atas.
Mental pejabat juga tidak seirama dengan kondisi kemiskinan, sebutnya. Lihat saja, dari fasilitas yang digunakan pemerintah. Baik dari kantor, mobil dinas, maupun tunjungan yang diberikan kepada pejabat cukup fantastis. Namun, apa yang pemerintah berikan untuk rakyat.
"Itulah yang menjadi problem sangat besar. Kemiskinan Aceh hari ini tidak bisa dikatakan karena alasan pandemi," tutur Alfian.
Alfian menyarankan upaya-upaya membuang badan yang dilakukan pemerintah Aceh harus dihentikan. Publik juga sudah tak percaya kemiskinan Aceh hari ini karena pandemi.
Alfian juga meminta kepada pemerintah untuk berhenti membangun opini-opini yang tidak mendasar. "Kita menilai masalah terbesarnya ada di tata kelola pemerintah kita. Itu problem terbesarnya," terang Alfian.
Sejauh ini, tambah Alfian, program Pemerintah Aceh baik Aceh Hebat, Aceh Bereh, dan sebagainya hanya berbentuk iklan di papan reklame pada acara-acara seremonial semata. Tapi, secara konkrit hingga sekarang belum terlihat nyata.
Misalnya, sebut Alfian, seperti pengadaan kapal Aceh Hebat yang tidak berdampak secara langsung. Tetapi Pemerintah Aceh terus menggadang-gadangkan itu merupakan program terobosan Aceh Hebat.
Eksekutif Legislatif Tak Seirama
Persoalan lain yang membuat Aceh semakin terpuruk ke jurang kemiskinan legislatif dan eksekutif kerap tidak seirama. Konflik politik antar dua lembaga ini juga telah menghambat program-program kesejahteraan rakyat.
Koordinator Lembaga Pemantau Parlemen Aceh (LPPA), Muzakir, mengatakan konflik politik yang terjadi antara legislatif dan eksekutif selama ini adalah salah satu penyebab yang menjadi bagian penghambat kinerja eksekutif.
Konflik yang terjadi bukan semata-mata karena kepentingan rakyat, tetapi cuma sebatas persoalan alokasi anggaran. Imbas dari itu, kemudian berdampak kepada serapan anggaran dan kinerja SKPA, sehingga program-program pengentasan kemiskinan terhambat.
Ia mencontohkan, banyaknya rumah tidak layak huni di Aceh semestinya menjadi perhatian khusus, bahwa perlu ditingkatkannya kuota rumah dhuafa. Karena yang menjadi tolak ukur kemiskinan ialah kebutuhan sandang, pangan dan papan.
“Tapi seakan yang menjadi fokus para wakil rakyat ialah mengawal judul alokasi dana aspirasinya, bukan mengawal benar-benar bagaimana alokasi anggaran difokuskan untuk pengentasan kemiskinan,” ujar Muzakir.
Menurutnya, anggota dewan tidak serius dalam mengalokasikan dana aspirasi yang jumlahnya triliunan rupiah. Belum terukur indikator untuk peningkatan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan.
Namun, jika memang dewan serius dalam pengentasan kemiskinan, maka sudah banyak industri yang hadir di Aceh, sudah banyak sentra pertanian, perikanan dan peternakan yang muncul, serta sudah banyak UMKM bermunculan yang bersumber dari dana aspirasi tersebut.
“Jadi, objektif saja lah. Jangan lempar bola api kemiskinan di Aceh itu ke eksekutif, sementara padahal itu juga menjadi catatan buram bagi legislatif yang tak optimal menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat baik secara budgeting maupun pengawasan pelaksanaan kegiatan,” pungkasnya.[]
Komentar